My Library

selamat datang di perpustakaan ilmu dan info.

pasang
pasang
pasang

Akibat Tidak Memahami Ilmu Sastra Arab

Ilmu sastra Arab

Akibat tidak menguasai sastra Arab
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/08/lebih-dekat-astronot/ bahwa mereka beraqidah (beri’tiqod) bahwa Tuhan mereka bertempat di arah atas kepala mereka yakni bertempat di atas langit maka konsekuensinya adalah bahwa orang-orang yang berada di atas mereka atau berada di arah atas kepala mereka seperti astronot yang non muslim pun lebih dekat kepada Tuhan mereka daripada mereka yang bertempat atau berdiam di atas tanah (bumi).
Mereka terjerumus kekufuran dalam i’tiqod karena mengikuti kaum musyabbihah yang mengikuti kaum Yahudi bermazhab dzahiriyyah yakni berqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir  di mana kata “di atas” hanya diartikan untuk tempat atau arah sebagai lawan kata “di bawah”
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi atau makna apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksilkal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Padahal kata “di atas” juga memiliki makna majaz atau kiasan (metaforis) yakni bagian dari makna bathin atau makna di balik yang tertulis atau makna tersirat
Makna bathin terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain.
Contohnya “orang-orang di atas angin” bukan berarti orang-orang yang bertempat di atas angin namun mempunyai makna “orang-orang yang sedang berada dalam kejayaan” atau “orang-orang mengungguli yang lain”.
Salah satu ilmu yang mendalami makna majaz atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat adalah ilmu balaghoh atau ilmu satra Arab
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir)  kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,

1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa akan timbul perselisihan di antara umat Islam dikarenakan ulama bangsa Arab sendiri
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya , “‘Wahai Rasulullah, dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lantas Allah membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan lagi?
Nabi menjawab ‘Tentu’.
Saya bertanya ‘Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi?
‘Tentu’ Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan.
Saya bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Dari hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa ulama yang menyebabkan perselisihan adalah ulama bangsa Arab sendiri yang paham bahasa Arab dalam makna dzahir (makna apa yang tertulis / tersurat) dan melupakan makna bathin (makna di balik yang tertulis / tersirat) yang umumnya terdapat dalam ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sehingga timbul ketidakseimbangan atau ketidakstabilan atau berakhlak buruk seperti menyerang atau memerangi kaum muslim sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/  karena fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati (ain bashiroh).
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/03/sanad-ilmu-tersambung/bahwa tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru dari gurunya terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Jadi kalau ada ulama yang berakhlak buruk seperti menyerang atau memerangi kaum muslim maka terputuslah sanad ilmu atau sanad gurunya, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/27/sanad-ilmu-terputus/
Kesimpulannya kalau ada orang setelah membaca Al Qur’an dan As Sunnah namun berakhlak buruk seperti membenci, mencela, menyerang, memerangi bahkan membunuh umat Islam lainnya yang dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah  maka dapat dipastikan mereka adalah orang-orang yang tidak menguasai sastra Arab atau ilmu balaghah.
Orang yang murtad adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni orang-orang yang membunuh orang-orang Islam karena dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah ditetapkan sebagai orang yang telah murtad atau telah keluar dari agama Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/28/pembunuh-dan-murtad/
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah di atas yang artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah,  sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
Yang dimaksud dengan “membiarkan para penyembah berhala” adalah “membiarkan” kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/tidak-sekedar-membiarkan/
Orang yang murtad dan melakukan dosa besar yakni membunuh orang-orang Islam karena dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah serta mereka salah memahami hadits “Kullu bid’atin dholalah” sehingga mereka justru melakukan bid’ah dalam ibadah mahdhah yakni mereka mengarang syariat atau mengada-ada syariat atau mengada-ada dalam urusan agama (urusan kami) atau mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama seperti melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/mendustai-ulama/ maka mereka kelak akan dihalau dari telaga Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/05/20/janganlah-ikut-dihalau/
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar. (HR Bukhari 6097)
Oleh karenanya janganlah mengikuti orang orang yang kelak dihalau dari telaga Rasulullah dan marilah kita berupaya untuk menjadi saudara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang kelak bergabung di telaganya
Dalam riwayat Ahmad dari Anas r.a, katanya : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Aku sangat suka untuk bertemu dengan saudara-saudaraku yang beriman denganku walaupun mereka tidak pernah melihatku”
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: “Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita”.
Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud”
Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? “
Beliau menjawab dengan bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?”
Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.’
Beliau bersabda lagi: ‘Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudhu Aku mendahului mereka ke telaga.
Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat‘. Aku memanggil mereka, ‘Kemarilah kamu semua‘. Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat‘. Maka aku bersabda: Pergilah jauh-jauh dari sini. (HR Muslim 367)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits di atas mencirikan kaum muslim yang akan menjadi saudara-saudara Beliau dan kelak bergabung di telaganya adalah kaum muslim yang keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudhu artinya kaum muslim yang dengan sholatnya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar atau muslim yang dengan sholatnya menjadi muslim yang ihsan, muslim yang beraklakul karimah.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya

Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi walaupun mereka bertambah ilmu namun semakin jauh dari Allah ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Ciri khas dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At Tamim An Najdi telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/ciri-khas/
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah muslim yang dekat dengan Allah atau muslim yang telah meraih maqom (derajat) di sisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin

Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah) adalah
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela

Allah ta’ala telah berfirman bahwa jika bermunculan orang-orang yang murtad atau keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya karena membunuh umat la ilaha illallah yang dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah maka Allah Azza wa Jalla tetap menjaga adanya kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah seperti ahlul hadramaut (Yaman).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Rasulullah telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Husain bin Al Hasan berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar berkata, Beliau berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Ibnu ‘Umar berkata, Para sahabat berkata, Juga untuk negeri Najed kami. Beliau kembali berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Para sahabat berkata lagi, Juga untuk negeri Najed kami. Ibnu ‘Umar berkata, Beliau lalu berdoa: Disanalah akan terjadi bencana dan fitnah, dan di sana akan muncul tanduk setan (HR Bukhari 979)
Dari Ibnu Umar ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda sementara beliau menghadap timur: “Ingat, sesungguhnya fitnah itu disini, sesungguhnya fitnah itu disini dari arah terbitnya tanduk setan.” (HR Muslim 5167)
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man telah menceritakan kepada kami Mahdi bin maimun aku mendengar Muhammad bin Sirin menceritakan dari Ma’bad bin Sirin dari Abu Sa’id Al Khudzri radliyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Akan muncul beberapa orang dari arah timur, mereka membaca Al Qur’an namun tidak lebih dari kerongkongan mereka (tidak meresap dalam hati), mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busur, dan mereka tidak akan kembali hingga anak panah kembali ke tali busur. Lalu ditanya, Apa tanda mereka? Beliau menjawab: Ciri mereka adalah gundul. (HR Bukhari 7007)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menetapkan miqot bagi penduduk negeri Yaman di Yalamlam sebelah tenggara kota Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Yaman, sedangkan penduduk negeri Najed di Qarnul Manazil sebelah timur dari kota Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Najed. Begitupula penduduk Iraq miqot di Dzat Irq, Timur Laut Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Iraq.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad dari ‘Amru dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Yaman di Yalamlam dan bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan ‘umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiyah) dari (rumah mereka) di Makkah. (HR Bukhari 1431)
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798)
Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sari telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Sa’id bin Masruq dari Abdurrahman bin Abu Nu’m dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Ketika Ali bin Abi Thalib berada di Yaman, dia pernah mengirimkan emas yang masih kotor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu emas itu dibagi-bagikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada empat kelompok. Yaitu kepada Aqra` bin Habis Al Hanzhali, Uyainah bin Badar Al Fazari, Alqamah bin Ulatsah Al Amiri, termasuk Bani Kilab dan Zaid Al Khair Ath Thay dan salah satu Bani Nabhan. Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, Kenapa pemimpin-pemimpin Najed yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? Abu Sa’id berkata; Setelah orang itu berlaku, maka seorang sahabat (Khalid bin Al Walid) meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuh orang itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Dari kedua hadits di atas (HR Ahmad no 19798) dan (HR Muslim 1762) dapat kita ketahui bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi lebih memperhatikan apa yang tampak secara lahir seperti ada tanda hitam bekas sujud di antara kedua matanya atau berjanggut lebat namun tidak berakhlak baik sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/26/tampak-secara-lahir/
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi dengan pertanyaan
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat” (namun berakhlak buruk)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Apa yang diikuti oleh ahlul yaman dapat kita telusuri melalui para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah.
Silahkan telusurilah melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Akibat Tidak Memahami Ilmu Sastra Arab"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top