My Library

selamat datang di perpustakaan ilmu dan info.

pasang
pasang
pasang

REKONSTRUKSI ANTROPOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

BAB I



PENDAHULUAN

Antropologi pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana diketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka. Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian.

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara antropologi dan pendidikan, khususnya pendidikan Islam dan akan dibahas tentang fenomena-fenomena pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia, baik dari segi budaya jam belajar, permasalahan dalam pendidikan yakni pengadaan sekolah gratis yang belum maksimal pencapaianya, fenomena antara sekolah umum dan sekolah agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A.            SEKILAS TENTANG ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup manusia. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah. Antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayan yang sudah punah, ekologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat diamati secara langsung.[1] Jadi antropolgi adalah kajian yang mendalam tentang kebudayaan-kebudayaan tertentu.
Awalnya antropologi dikenal sebagai konsep kebudayaan yang merupakan satu totalitas (Ruth). Sementara itu, Boas mempertimbangkan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan dalam pola-pola tertentu. Ada banyak pertentangan lain tentang antropologi, namun semenjak itu inovasi utama yang terjadi adalah kajian tentang kebudayaan dan kepribadian yaitu tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh individu.[2] Jadi antropologi mengkaji aspek-aspek tertentu dari kebudayaan. Jika sarana sosial lain membicarakan rentangan tertentu, maka sarjana antropologi mengkaji keseluruhan sejarah umat manusia sebagai bidang kajiannya. Dengan mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman budaya umat manusia dan pengaruh dalam pendidikan.
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi.[3] Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.

B.                Pendidikan Islam
Modernisasi Barat telah  merubah orientasi sebagian  umat Islam terhadap pandangan dunia, yang menuntut penyelesaian yang dialektis (kenyataan) dan normatif (prinsip-prinsip). Semua itu  memerlukan sikap yang kritis melalui pendidikan Islam, yang menjadi fenomena individual disuatu pihak dan fenomena sosial budaya di pihak lain. Namun sayangnya pendidikan Islam ini belum mampu memfungsikan diri sebagai pendidikan alternatif. Kerangka filosofis yang dipakai selama ini tidak begitu jelas adanya dan tidak bisa secara tegas  sehingga tak jarang memunculkan teori-teori yang rancu dan rapuh.[4] Selain itu perlu adanya tinjauan ulang secara kritis pada seluruh pemikiran mengenai pendidikan Islam dalam rumusan mengenai definisi, tujuan dan kurikulum.[5]
            Tentang kemunduran umat Islam selama lima ratus tahun terakhir  menurut beberapa tokoh disebabkan tiga hal utama yaitu: kebekuan dalam pemikiran, pengaruh zuhd, dan kehancuran Baghdad sampai ditutupnya pintu ijtihad. Menurut Muhammad Iqbal kehidupan terletak pada kerja dan jihad, pandangan yang seperti dapat secara langsung maupun tidak langsung dapat menyadarkan manusia atas kekuatanya sendiri dalam merubah, menyempurnakan dan membentuk kembali dunia ini menjadi tempat yang indah dan menyenangkan untuk hidup didalamnya.
            Dalam Islam sendiri kita ketahui bahwasanya manusia diciptakan oleh tuhan sebagai khalifah di bumi. Khalifah disini berarti seorang pemimpin berskala mikro ataupun makro. Seorang makhluk yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan makhluk lainnya. Yang mempunyai kebebasan pribadi selain untuk beribadah kepada tuhannya.
            Menurut salah satu tokoh pemikiran Islam, dalam hal ini adalah Muhammad Iqbal, ia beranggapan bahwa pendidikan adalah suatu keseluruhan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat yang meliputi prinsip dasar: konsep individualitas, pertumbuhan individualitas, keserasian jasmani dan rohani, individu dan masyarakat, evolusi kreatif, peranan intelek dan inntuisi, serta pendidikan watak tata kehidupan sosial Islam.

C.                Rekonstruksi Pendidikan Islam
Pada dasarnya antropologi itu adalah suatu cabang ilmu yang membahas dan mempelajari tentang eksistensi manusia di bumi yang menjadi sasaran dan subjek pendidikan Islam.[6]
Dalam hal ini yang menjadi pusat perhatian mengenai bagaimana rekonstruksi antropologi pendidikan Islam khususnya di Indonesia yaitu meliputi: dimensi spiritual, dimensi intelektual dan dimensi moral.
Menurut Ahmad Marimba dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ia mengungkapkan bahwasanya pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam. Konsep pendidikan yang seperti ini menekankan pada sistem  nilai-nilai dalam Islam, seperti halnya mendasarkan segala apapun pada Tuhan atau Allah, dan sebagai pengakuan atas potensi diri  setiap manusia untuk terus berkembang, serta sebagai pengamalan ilmu pengetahuan atas tanggung jawab  kepada Tuhan dan masyarakat. Hal ini lah yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan yang lainnya.

            Pertama, Kaitannya dengan dimensi spiritual pendidikan Islam saat ini harus dapat mengarahkan peserta didik menuju proses penyadaran pribadinya. Melalui penyadaran pribadinya tersebut, dalam semua hal manusia diharapkan tidak lagi mengatasnamakan pihak lain, seperti atas nama Tuhan dll. Dalam contoh nyata pendidikan Islam perlu diarahkan menuju penyadaran manusia bahwa nasib manusia di dunia bukan semata-mata sebagai kehendak Tuhan. Melainkan juga sebagai pilihannya sendiri, karena manusia mempunyai andil besar dalam memilih sebuah pilihan dalam kehidupan. Di dunia ini manusia memiliki posisi sebagai partner kerja Tuhan, yang artinya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dan melakukan tidakan. Melalui proses inilah seorang manusia diharapkan dapat menjadi seorang yang insan kamil, yaitu sebuah derajat tertinggi pada manusia dihadapan tuhan.[7]

            Kedua, Selanjutnya dimensi selanjutnya adalah dimensi intelektual. Dalam hal ini pendidikan Islam harus menjadi proses penyadaran manusia bahwa setiap manusia dibekali Tuhan dengan kemampuan yang sama untuk memikirkan dunia ini serta kemampuan yang sama untuk menggali ubah apa adanya menjadi apa yang seharusnya.
            Oleh karena itu pendidikan Islam harus mengarahkan pada pembebasan pengelanaan intelektual yang penuh keberanian. Dalam hal ini, pendidikan Islam harus menjadi inspirasi baru bagi peserta didik untuk terus menerus menguasai bidang dan kawasan baru dalam dunia pengetahuan, serta tidak pernah mundur atau takut aka berbagai perangkap yang mungkin menghadang.
            Perkembangan zaman yang terus melaju dengan pesatnya di era modern ini tidak lain sebagai berkat aktifitas intelek yang kreatif. Bagi manusia hal tersebut menuntut usaha untuk mencurahkan perhatian dalam menggugah, memupuk dan membina inteligensinya. Tanpa pembangkitan dan pengembangan inteligensi tidaklah mungkin baginya untuk hidup secara penuh dan memadai dalam zaman yang demikian kompleks.
            Sementara itu, sehubungan dengan pengelanaan intelek yang bebas, hal itu akan menuntut dan lebih mengutamakan corak metode yang terbuka bagi keaktifan sendiri seorang peserta didik. Hal tersebut akan berimplikasi pada pembelajaran yang menghadapkan siswa atau peserta didik kepada situasi baru dan masalah baru yang mengundang mereka untuk belajar dengan penuh kesadaran akan tujuan digalinya dari sumber yang tersedia dalam lingkungan mereka. Peserta didik dituntut untuk mandiri dalam mengatasi dan memecahkan berbagai kesulitan yang muncul.
            Bila hal itu dapat terwujud dengan baik maka diharapkan bisa membangkitkan sikap kritis seorang peserta didik, yaitu suatu sikap terus bertanya dan tidak begitu saja menerima suatu pandangan atas dasar kepercayaan belaka melainkan atas usaha sendiri dengan menggunakan akal pikirannya.
            Peranan intelek adalah bagaikan peranan pembantu rumah tangga dalam rangka usaha mencapai tujuan hidup. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “Kita tidak hidup untuk berpikir, meleinkan kita berpikir untuk hidup”.[8]          
            Maka dari itu, jika sebuah pengetahuan intelel tidak dikaitkan dengan tindakan, tidak diraih melalui tindakan tidak akan tertuang menjadi kekuatan dan tidak akan bermanfaat bagi manusia dalam menata kembali lingkungannya. Suatu pandangan yang seimbang antara berbagai komponen seperti pengalaman, kognitf, efektif dan psikomotorik bila terjalin dengan baik maka dapat membantu pembinaan kepribadian manusia yang baik
            Pendidikan Islam hendaknya diarahkan kepada penundukan ruhani terhadap jasmani untuk meraih seluruh dunia, walau dengan mengorbankan jiwa sekalipun. Konsekuensinya adalah lembaga pendidikan hendaknya berusaha menggali makna  intelektual, estetik dan moral dari kegiatan dan minat kehidupan sehari-hari serta meningkatkan penggunaan akal sehat dalam menggulangi masalah-masalah kehidupan sehari-hari. Secara praktis pembinaan kembali kurikulum akan memperkenalkan dan memasukan aktifitas kehidupan sehari-hari ke dunia pendidikan. Karena pengetahuan yang terlepas dari aktifitas kehidupan sehari-hari cenderung mengarah kepada kematiannya dan lagi pula bersifat dangkal.
            Peranan intelek dan pencarian ilmu pengetahuan patut kita hagai, karena hal tersebut merupakan suatu usaha dalam rangka mengatasi berbagai hambatan yang dihadapinya di alam semesta, disamping memperkaya dan memperluas jangkauan kehidupan kita juga mempertajam wawasan kita. Lebih dari itu bahwasanya menguasai sebuah ilmu pngetahuan masih mempunyai makna yang lebih dalam lagi, yaitu merupakan ibadat kepada Tuhannya.[9]

            Ketiga, rekonstruksi antropologi pendidikan Islam pada dimensi moral. Dalam hal ini kebaikan bukan sekedar sesuatu yang didorongkan dan dipaksakan. Lebih dari itu kebaikan adalah suatu penyerahan diri yang tulus bebas dari citra susila dan hanya timbul dari kesediaan dirinya sendiri untuk berpartisipasi. Jika seorang yang seluruh gerak langkahnya ditentukan dari luar tidak akan menghasilkan suatu kebaikan yang hakiki. [10]
            Berdasar deskripsi di atas dapat kita katakan bahwasanya pendidikan tidak akan dapat menghasilkan tingkah laku susila yang memadai dengan hanya menyodorkan seperangkat materi ajar yang telah siap pakai, dan berharap akan ditelan mentah-mentah untuk kemudian dituangkan ke dalam pelaksanaan secara otomatis oleh peserta didik.
            Moralitas mencakup pemilihan dan kemauan bebas. Orang hanya akan melaksanakan seperangkat nilai secara efektif dan pribadi dengan penuh kesadaran bahkan mungkin dengan pengorbanan melalui penghayatan nilai tersebut secara pribadi. Untuk itu diperlukan suatu tahapan kebebasan tertentu. Tanpa didahului penghayatan nilai seperti itu, yang didapatnya melalui pertimbangan dan perhitungan yang matang dalam tautannya dengan kehidupan sosial sehari-hari, slogan-slogan susila yang serba teoritis tidak mungkin ditransformasikan ke dalam tindakan yang lahir karena motivasi yang sehat dan kuat kurang diperhatikan.
            Perbuatan susila muncul dari kesediaan diri sendiri untuk berpartisipasi dan berkooperasi. Implikasinya, lembaga pendidikan atau sekolah hendaknya dibekali dengan kesempatan yang cukup dan penuh untuk terjun ke dalam kehidupan sosial guna mendapatkan pengalaman dan penghayatan sosial. Motivasi yang sehat yang digalinya dari kehidupan masyarakat sekitar hendaknya dimanfaatkan sekolah dalam menjalankan roda kegiatannya sehari-hari.[11]
            Segala kegiatan pendidikan yang memperkenalkan berbagai motif dan meode sosial ke sekolah serta memperluas ruang lingkup pekerjaan yang telah dilaksanakan akan dapat mensusilakan proses pendidikan. Oleh karena itu kegiatan sedemikian itu sangat menguntungkan.

BAB III
PENUTUP

            Simpulan :
            Dalam upaya pendidikan Islam untuk mengarahkan pendidikannya menuju insan kamilmaka pendidikan Islam sekiranya perlu melakukan hal sebagai berikut:
a.       Mendidik mukmin sejati yang tidak memperlakukan agamanya sebagai dogma yang kikuk atau kaku yang mengarungi hidupnya menurut tuntutan murni dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Keberanian dan stamina spiritualnya melebihi manusia lain. Ia mempunyai langkah hidup yang ideal dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Ia menghadapi berbagai perubahan nilai dalam masyarakat, namun ia tetap kokoh ule dalam mempertahankan keyakinan transendentalnya sebagai ‘abdullah dan khalifatullah di bumi.
b.      Pada akhirnya peserta didik dibina menuju manusia mukmin bertanggung jawab memakmurkan dirinya dengan segenap ilmu pengetahuan yang dipelajari untuk hidup di dan bersama dunia serta dengan potensinya  sumber riski kehidupan yang layak, menguasai dan mengendalikan alam untuk tujuan suci yang diridai Allah swt. Tetapi alam fisik bukan menjadi tujuan utama melainkan sebagai sarana mengembangkan kehidupan yang serasi antara jasmani dan rohani untuk mencapai derajat kehidupan yang tinggi lagi terhormat di mata manusia dan di hadapan Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA


Ember, CR dan Melvin, dalam To Ihromi (editor), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta. PT. Gramedia, 1986
Haviland, William A, Antropologi jilid I dan II Alih bahasa RG Soekardjo, Jakarta : PT. Gramedia, 1970
J.Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Dekade 1970, Jakarta :PT. Gramedia, 1970
Ali Asyraf, Horizon Baru Pendidikan Islam,terj. Sori Siregar Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Abdul Munir Mulkan, “Rekonstruksi Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial”, dalam Muslih dan Aden Wijdan S.Z. (peny.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial,Yogyakarta: UII Pres, 1997
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Pres , 1982
Akhyat, Rekonstruksi Antropologi Pendidikan Islam: Kajian Pemikiran Iqbal(Desertasi),Yogyakarta: UIN SUKA Press. 2009
Ali Sodiqin, Antropologi Al-qur’an Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Yogyakarta: Ar ruzz Media, 2008

Sumber Artikel Klik Di Sini




[1] Ember, CR dan Melvin, dalam To Ihromi (editor), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta. PT. Gramedia, 1986, hlm 65
[2] Haviland, William A, Antropologi jilid I dan II Alih bahasa RG Soekardjo, Jakarta : PT. Gramedia, 1970, Hlm. 89
[3] J.Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Dekade 1970, Jakarta :PT. Gramedia, 1970, hlm 65
[4] Ali Asyraf, Horizon Baru Pendidikan Islam,terj. Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus,1993), hlm.  103
[5] Abdul Munir Mulkan, “Rekonstruksi Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial”, dalam Muslih dan Aden Wijdan S.Z. (peny.), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial(Yogyakarta: UII Pres, 1997),hlm. 23
[6] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI Pres , 1982), hlm. 1
[7]Akhyat, Rekonstruksi Antropologi Pendidikan Islam: Kajian Pemikiran Iqbal(Desertasi), UIN SUKA Press. 2009, hlm. 6-7
[8]Ibid., Akhyat, hlm. 8
[9] Ali Sodiqin, Antropologi Al-qur’an Model Dialektika Wahyu dan Budaya,(Yogyakarta: Ar ruzz Media, 2008), hlm. 59
[10]Ibid., Akhyat, hlm. 9
[11]Ibid,. Akhyat, hlm. 10 

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "REKONSTRUKSI ANTROPOLOGI PENDIDIKAN ISLAM"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top