My Library

selamat datang di perpustakaan ilmu dan info.

pasang
pasang
pasang

Analisis Semiotik Pierce: Mengejar Layang-Layang Penebus Dosa “THE KITE RUNNER” Karya Khaled Hosseini

Karya sastra Timur Tengah merupakan sebuah karya sastra yang berisi tentang ke-Timur Tengah-an, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur Tengah. Berbicara tentang novel Timur Tengah, kita akan mengingat perang, penindasan, agama Islam, dan lain-lain. Karya sastra Timur Tengah banyak yang bersifat realis, tidak bersifat fantasi, seperti pada novel Snow, The Blind Owl, My Name is Red, My Father’s Notebook, serta novel yang kami analisis, yakni The Kite Runner.

The Kite Runner adalah novel perdana yang ditulis oleh penulis kelahiran Afghanistan, Khaled Hoseeini. Hosseini yang kini bermukim di Amerika adalah seorang putra diplomat yang yang lahir di Kabul pada 1965. Saat ayahnya ditugaskan ke Paris 1976, ia meninggalkan Afghanistan dan tak bisa kembali ke tanah kelahirannya karena pada 1980 Rusia telah menduduki Afghanistan. Keluarga Hossseini akhirnya mendapat suaka politik dari pemerintah Amerika Serikat dan hingga kini ia tinggal di California dan menjadi seorang dokter. Novel perdananya ini langsung menghentak dunia literasi Amerika, dan menjadi novel terlaris sepanjang tahun 2005 versi New York Times. 

Novel yang ditulis dengan gaya memoar ini memang sangat menyentuh pembaca. Ceritanya kuat, eksplorasi karakter tokoh-tokohnya disajikan secara pas sehingga tidak ada karakter yang sia-sia dalam buku ini. Selain itu kalimat-kalimat yang mengaduk-ngaduk emosi pembacanya dan tema abadi yang diangkat mengenai kehidupan manusia: cinta, kehormatan, pengkhianatan, ketakutan, pengabdian, dan penebusan membuat buku ini menjadi sebuah buku yang memorable.

Dari segi terjemahan novel ini patut mendapat pujian, pilihan diksinya memikat dan tersaji dengan lancar, enak dibaca, dan mudah dinikmati. Tidak ada ganjalan berarti dalam membaca novel terjemahan ini. Salut dengan penerjemah Berliani M. Nugrahani. Selain ke bahasa indonesia, The Kite Runner juga sudah diterjemahkan ke 41 bahasa lain.

Tema sentral novel ini adalah tentang balas budi Amir pada Hassan. Tentang bagaimana sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang.

Novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini mengisahkan tentang dua anak laki-laki yang bisa dikatakan ber‘sahabat’, tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, kesenangan, dan penderitaan. Mereka adalah Amir dan Hassan. Amir merupakan seorang anak keturunan Ras Pashtun (ras terhormat di Afghanistan pada saat itu), ayahnya bernama Agha Sahib sering dipanggil Baba, seorang duda yang kaya raya. Sedangkan Hassan hanyalah anak seorang pelayan. Ayah Hassan bernama Ali dan ia merupakan pelayan di rumah Baba. Hassan merupakan anak keturunan Ras Hazara (Ras yang dipandang rendah lagi hina di Afghanistan). Meski begitu keduanya punya persamaan; sama- sama tidak memiliki ibu sejak kecil. Ibu Amir meninggal saat melahirkan, ibu Hassan kabur dari rumah saat Hassan masih bayi. Amir dan Hassan tinggal di Kabul Afghanistan, dan pada saat itu merupakan era pertempuran antara Taliban dengan Rusia .

Walaupun mereka memiliki latar belakang keluarga yang berbeda, tetapi mereka tumbuh bersama, bahkan sesusuan. Tetapi, sang Baba, ayah Amir, tidak pernah memperlakukan Hassan dengan buruk, bahkan Baba sangat menyayangi Hassan, hal tersebutlah yang membuat Amir iri hati.

Dalam analisis ini kami berusaha mengungkapkan penindasan atau penjajahan batin pada tokoh dan simbol atau tanda dalam novel The Kite Runner.  Analisis ini menggunakan teori semiotik Charles Sanders Pierce. Peirce menganggap bahwa tanda adalah representatif dan juga interpretatif, yang tidak hanya mewakili sesuatu akan tetapi juga membuka peluang sebebasnya bagi penafsir untuk menafsirkannya sendiri. Dalam analisis ini kami akan menyampaikan tentang pemaknaan, terutama makna layang-layang, warna layang-layang, nama tokoh, serta korelasi antara makna nama tokoh dengan sifat-sifatnya. Karena membicarakan tentang sifat-sifat para tokoh, maka penelitian ini memerlukan adanya teori psikologi tokoh.

 

Makna di Balik Layang-layang dan Warnanya

Dalam novel ini, banyak sekali istilah atau perumpamaan layang-layang. Layang-layang berarti kebebasan, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas oleh sang pengendali. Layang-layang dapat pula berarti sebuah harapan, harapan yang sangat tinggi, tergantung pengendali menerbangkan layang-layang (harapan) setinggi apa. Seperti saat Amir dengan bantuan Hassan memenangkan turnamen layang-layang. Sebelumnya, Amir sempat berbincang-bincang dengan Baba tentang sekolah dengan ajarannya untuk menjauhi dosa. Baba hanya meyakinkan jika Tuhan tidak ada. Namun dalam perbincangan tersebut Amir lebih memilih percaya kepada guru agamanya di sekolah. Hal itu berefek pada saat turnamen ketika Amir berharap menang dan mengakui Tuhan itu ada dan mengalahkan pemikiran Baba.

Penebusan. Kalau Baba salah dan Tuhan memang ada. Seperti yang mereka katakan padaku di sekolah, maka Dia akan memberikan kemenangan padaku. Aku tidak tahu yang membuat lawanku ingin menang. Mungkin hanya hak untuk menyombongkan diri. Tetapi inilah satu-satunya kesempatanku untuk dilihat, bukannya terlihat, didengar, bukannya terdengar. Jika Tuhan memang ada, Dia akan mengarahkan angin, membiarkannnya meniup layang-layangku. Hingga hanya dalam satu hentakan benang, aku akan memutuskan rasa sakitku, dambaanku. Aku telah melalui begitu banyak hal, telah berjalan begitu jauh.  Dan begitu saja, harapan menjadi nyata. Aku akan memenangkannya. Ini hanya masalah waktu. (Hosseini, 2009: 130)

 

Jika dalam analisis semiotika Pierce, layang-layang yang dilihat oleh penulis dalam teks menduduki bagian sebagai ground, karena selanjutnya hal tersebut yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menerjemahkannya ke bagian objek dan interpretant. Selanjutnya beralih ke bagian objek dari ground yang berupa layang-layang tersebut. Objek tersebut berupa gerakan layang-layang yang bebas melayang di udara, tanpa ada yang menghalanginya. Kecuali adanya tali yang mengikat dirinya dengan pengendalinya. Meskipun mempunyai tali pengikat, layang-layang akan tetap meliuk-liukan badannya diterpa oleh angin. Selanjutnya beralih ke bagian interpretant yaitu pemikiran penulis yang mengartikan objek layang-layang tersebut untuk dapat dimaknai secara tekstual dan sesuai hasil pembacaan bagian sebelumnya yaitu kebebasan Amir dari kungkungan penafsiran seorang ayah kepada anaknya yang tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya membaca buku.

Dari kutipan yang tersebut diatas, mencerminkan suatu kebebasan yang diraih oleh Amir dari kungkungan pemikiran Baba. Pemikiran Baba cenderung membatasi Amir untuk tidak mempercayai kebenaran agama yang didapatnya di sekolah. Apalagi jika merunut masalah ada atau tidaknya Tuhan, setidaknya telah dibuktikan oleh Amir sendiri ketika mengharapakan kemenangan pada turnamen tersebut. Selanjutnya, Amir berasumsi jika Tuhan yang membuat dirinya memenangkan turnamen tersebut dengan meniup angin ke layang-layang Amir dan dapat melayang kuat memutuskan layang-layang lawan Amir. Apalagi Amir saat itu memang sangat haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah, Baba. Sehingga hal tersebut membuat Amir menjadi agak takut jika Amir mengakui adanya Tuhan, maka dia tidak akan mendapatkan kasih sayang seorang Ayah yang menentang secara terang-terangan ajaran agama di sekolah anaknya.

Di Kota Kabul, salah satu kota di Afghanistan, turnamen layang-layang menjadi momen yang sangat penting bagi anak laki-laki seusia Amir dan Hassan. Setiap tim terdiri dari dua orang; satu orang menerbangkan dan mengendalikan, seorang lagi membawakan gulungan benang dan mengulurnya. Amir dan Hassan membentuk tim. Amir adalah pengendali layang-layang, sedangkan Hassan sebagai pembawa benang. Layang-layang menjadi refleksi dari kehidupan Amir dan Hassan.

Baba, ayah Amir adalah sosok pria Afghan perkasa, pengusaha sukses, seorang moralis yang kebaikannya membuat dia disegani oleh teman-temannya. Baba menginginkan Amir tumbuh menjadi seorang pria yang tegar, menyukai aktivitas-aktivitas yang layaknya dilakukan oleh anak laki-laki seusianya seperti bermain bola, layangan, bela diri, dll. Namun Amir lebih senang tenggelam dalam buku-bukunya, menjadi pria lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Tiap kali dirinya mendapat masalah dengan teman-temannya, Hasan-lah yang selalu menjadi penolong dan pembelanya. Kenyataan ini membuat Baba kecewa dan khawatir terhadap masa depan anaknya, hal inilah yang membuat hubungan antara Amir dan ayahnya kadang menjadi kaku, Amir yang merasa berada dalam kekangan Baba, ayahnya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya membuat ia tertekan dan perasaan terhadap ayahnya menjadi campur aduk antara benci dan cinta. Baba menginginkan agar Amir menjadi lelaki yang tangguh dan dapat dibanggakan, bukan menjadi penulis atau pembaca puisi dan cerita, serta dia harus mampu menjaga dirinya sendiri. Tentu hal tersebut bertentangan dengan Amir yang suka menulis. Hal itu terekam pada percakapan antara Baba dan Rahim yang tidak sengaja didengar oleh Amir dari balik pintu tempat Baba dan Rahim berbincang:

“Bersyukur karena dia sehat,” kata Rahim Khan.

“Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi.”

“Dan?”

“Aku dulu tidak seperti itu.” Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah. Rahim Khan tertawa.

 “Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Kau tak bisa begitu saja mengisi mereka dengan warna-warna kesukaanmu.”

“Kuberi tahu kau,” kata Baba, “aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga anak-anak yang tumbuh bersamaku.” (Housseni, 2009: 50)

 

Dari percakapan tersebut dapat mewakili dan menerangkan jika Baba benar-benar tidak menyukai kebiasaan Amir sebagai “kutu buku” yang selalu memegang buku-buku. Baba menginginkan Amir menjadi seorang sepertinya yang mampu menjalankan bisnis dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Rahim Khan mencoba membantu Baba agar tetap selalu menyayangi anaknya, Amir. Rahim mencoba menerangkan jika Amir tidak harus sama dengan dirinya dalam masa pertumbuhannya. Tidak harus juga sifat dan perilaku sang ayah harus sama dengan sifat anaknya. Sehingga ketidaksukaan Baba kepada Amir dianggap Amir sebagai kungkungan yang membatasinya, namun ahirnya dia mampu membalikkan fakta dengan memenangkan turnamen layang-layang.

“Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga menganggunya? Hasan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya, Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka? Lalu dia bilang, ‘Dia jatuh.’ Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu.”

“Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri,” ujar Rahim Khan.

“Jalan menuju ke mana?” kata Baba. “Seorang anak laki-laki yang tak mampu membela dirinya sendiri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi masalah apa pun.” (Housseini, 2009:51)

 

Kutipan di atas merupakan lanjutan dari percakapan antara Baba dan Rahim mengenai Amir. Dalam kutipan tersebut terlihat Baba telah mengetahui perilaku anaknya yang sangat tidak disukainya sama sekali dan cenderung memberikan kungkungan berupa asumsi jika anaknya tidak mampu bersikap seperti lelaki pada umumnya. Hal itu terbukti ketika Amir berbohong atas Hassan yang terluka pada wajahnya akibat melindungi Amir, namun dikatakan pada Baba hanya jatuh saja.

 Layang-layang mewakili kebebasan yang diinginkan oleh Amir. Dia hanya ingin menikmati hidup seperti filosofi layang-layang. Pada turnamen layang-layang berikutnya, Amir ingin menang sekaligus ingin menunjukkan pada Baba bahwa dia masih bisa membanggakannya. Kemenangan pun berhasil diraih oleh Amir. Akhirnya kemenangan dalam turnamen layang-layang itu mampu menjembatani kebekuan yang selama ini terjadi antara dia dengan ayahnya. Sama seperti benang layang-layang yang tarik ulur. Terkadang longgar atau mungkin juga tarikannya yang terlalu keras sehingga memungkinkan layang-layang putus dan kemudian rebah di tanah. Amir pada saat itu mengalami proses yang sama. Layang-layang adalah lembaran setipis kertas yang bisa menyatukan kedua dimensi itu.

Terdapat dua layang-layang yang diceritakan, yang dikendalikan oleh Amir adalah layang-layang berwarna merah, sedangkan layang-layang yang dikejar Hassan adalah berwarna biru. Warna merah berarti perang, energi, emosi, cinta, nafsu, keinginan besar, kekuatan. Warna merah, melambangkan karakter Amir yang berkeinginan tinggi, nafsu, berkekuatan (karena dia adalah pengendali), perang, maksudnya Amir lebih memilih perang batin daripada menyelesaikan masalahnya dengan Hassan. Warna biru sendiri memiliki makna kesetiaan, kesucian, perjuangan, perdamaian (ketentraman).

Jika dalam analisis semiotika Pierce, warna merah dan warna biru dalam teks menduduki bagian sebagai ground, karena selanjutnya hal tersebut yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menerjemahkannya ke bagian objek dan interpretant. Untuk kedua warna tersebut yang sebagai ground, maka objeknya berupa kedua warna tersebut pada layang-layang milik Amir dan Hassan. Untuk bagian interpretantnya, hal tersebut berupa pemaknaan penulis terhadap warna pada layang-layang tersebut sesuai teks. Seperti yang saya tulis pada paragraf sebelumnya mengenai makna warna dan korelasinya terhadap watak masing-masing tokoh. Warna merah berarti perang, energi, emosi, cinta, nafsu, keinginan besar, kekuatan. Warna merah, melambangkan karakter Amir yang berkeinginan tinggi, emosi, nafsu, berkekuatan (karena dia adalah pengendali). Seperti pada kutipan ini:

 

Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menenyakan adakah hal yang membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya.

Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengejami orang lain. (Housseini, 2009: 50)

 

Kutipan di atas merupakan kutipan yang menerangkan jika Amir mempunyai emosi yang tinggi dan pendendam. Pendendam karena pada saat itu dirinya merasa terganggu mendengar ayahnya dan Rahim Khan berdiskusi membicarakan dirinya yang tidak sesuai dengan pemikiran ayahnya, yaitu anak lelaki sesungguhnya. Pada saat itu dirinya juga bertemu dengan Hassan yang merasa bingung atas sikap Amir pada pagi hari, mencoba bertanya tentang air muka Amir yang tidak menyenangkan dan terasa bagi Hassan terdapat masalah. Kontan saja, Amir melampiaskan kemarahan dirinya dengan membentak kepada Hassan saat ditanya tentang muramnya muka Amir pada saat menjelang sarapan.

Kesetiaan, kesucian, perjuangan ditunjukkan oleh Hassan dengan mengejar layang-layang terakhir dan mempersembahkannya untuk Amir. Hassan mengalami pelecehan seksual, dan dia tetap dengan pendiriannya untuk tidak menyerahkan layang-layang itu. Amir mengetahui hal tersebut dan hanya melihat dan berdiam diri dari kejauhan karena dia tidak cukup memiliki keberanian untuk menghadapi mereka semua. Begitulah kesetiaan, kesucian, perjuangan yang ditunjukkan oleh Hassan kepada Amir. Sedangkan Amir tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya melihatnya dari kejauhan. Keduanya “mati” secara bersamaan pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut. Sedangkan Hassan luruh secara eksistensi hidupnya, tidak punya harga diri lagi. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun. 

Ketika turnamen berakhir dan layang-layang terakhir terhempas, terhempas pulalah persahabatan antara Amir dan Hasan. Suatu tragedi menimpa Hasan, sebenarnya Amir memiliki kesempatan untuk menolongnya, namun keraguan dan ketakutannya membuat dirinya berlari meninggalkan sahabatnya sendirian, hal ini kelak akan membuat Amir dihantui rasa bersalah dan merasa dirinya telah menghianati sahabatnya. Segala cara dilakukannya agar ia bisa terbebas dari rasa bersalahnya. Alih-alih lari dari rasa bersalahnya, Amir mencoba berjarak dengan Hasan. Persahabatan mereka menjadi kaku dan tak lebih menjadi hubungan antara majikan dan pembantu. Seperti  pada kutipan ini:

Hassan mengusap wajahnya dengan lengan baju, menyeka ingus dan air matanya. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu, namun kami hanya berdiri di sana tanpa berkata-kata, dalam remang cahaya senja. Aku bersyukur karena bayangan senja menyelimuti wajah Hassan dan menyembunyikan wajahku. Aku lega karena tak perlu membalas tatapannya. Tahukah dia bahwa aku tahu? Dan kalau dia tahu, apa yang akan kulihat jika aku melihat ke matanya? Tuduhan? Kemarahan? Atau, yang paling kutakuti, pengabdian tanpa pamrih? Lebih dari segalanya, itulah yang tidak mampu dilihat. (Housseini. 2009: 151).

 

Sebenarnya dalam kejadian pelecehan seksual di atas. Hassan seharusnya bisa membela Amir sebagai sahabatnya tanpa harus memberikan apa yang musuh inginkan. Hal tersebut merupakan suatu bentuk loyalitas tanpa pamrih dari Hassan kepada majikannya, Amir. Seperti yang diketahui, Amir yang memenangkan turnamen tersebut berhak mendapatkan layang-layang lawannya. Dan hal itu yang dicoba olehnya untuk membuktikan bahwa dirinya bukan anak lelaki yang tidak mampu menyelesaikan masalah, seperti apa yang dibicarakan oleh Baba dan. Rahim. Namun dilain pihak, Amir juga merasa dirinya adalah seorang yang pengecut. Karena dirinya hanya melihat Hassan terbaring lemah tengah dikerjai oleh anak-anak itu. Padahal hanya dirinya yang dapat menolong Hassan. Perasaan bersalah itu tak pernah lepas dari kehidupannya.

Situasi politik di Afghanistan memanas, Rusia menginvasi Afghanistan, hal ini membuat Amir dan ayahnya harus mengungsi meninggalkan negerinya. Hasan dan ayahnya tetap berada di Afghanistan, sementara Amir dan ayahnya mengungsi meninggalkan tanah airnya. Perjalanan dramatis keluar dari Afghanistan harus mereka lewati hingga akhirnya mereka berhasil sampai di Pakistan dan terus mengungsi menuju Amerika Serikat.

Walau Amir berada ribuan kilometer dari tanah kelahirannya. Ia tak bisa lari dari masa lalunya. Kehidupan baru dijalaninya, ia menikah dengan sesama pelarian Afghan, namun hidupnya selalu dihantui rasa bersalah sampai akhirnya Amir menerima telepon dari sahabat ayahnya yang memintanya untuk menemuinya, hal ini membuat dirinya melihat satu kesempatan untuk kembali ke Afghanistan untuk menebus dosa-dosanya yang telah ia pendam dan coba kuburkan selama berpuluh-puluh tahun. Setelah tiba di Pakistan, Rahim Khan, sahabat ayahnya menceritakan segala hal kepada Amir. Rahim Khan memberitahu Amir bahwa Hassan sebenarnya adalah saudara tirinya.

Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali Amir harus kembali ke Afghanistan untuk menyelamatkan Sohrab, anak Hassan, yang tragisnya mengalami kejahatan seksual yang sama dengan yang dialami ayahnya. Ketika Amir kembali ke Afghansitan, tanah kelahirannya telah berubah, perang dengan Rusia dan perang saudara yang melahirkan rezim Taliban di bumi Afghanistan membuat negeri itu porak poranda dan menjadi negeri yang dijuluki negeri tanpa harapan.

 

Makna di Balik Nama Tokoh

Saya menganalisis bahwa, Hoseeini tidak sembarang memilih nama-nama tokohnya, seperti nama Amir dan Hassan, memiliki makna yang melambangkan karakter masing-masing tokoh. Nama Amir dan Hassan diambil dari bahasa Arab. Amir memiliki arti‘pemimpin’, sedangkan Hassan memiliki arti ‘baik’. Keduanya memiliki makna yang bagus dan sempurna dalam ajaran Islam. Akan tetapi, dalam kedua karakter tokoh tersebut didapati adanya ketidaksempurnaan. Contohnya, pada diri Amir yang memiliki rasa iri terhadap Hassan. Ia juga merupakan anak yang pengecut dan tidak berani untuk membela sahabatnya sendiri.

Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya menonton. Terpaku. (Hosseini, 2009:105).

Seperti pada penjelasan sebelumnya, yang juga dikaitkan dengan layang-layang, Amir menjadi pengendali dan Hassan sebagai pembawa gulungan benang sekaligus pengejar layang-layang. Hassan seorang yang sangat penurut pada Amir, karena memang dia ditugaskan untuk menjadi pelayan di rumah Amir. Bahkan ketika Amir menyuruhnya untuk memakan tanah pun akan dia lakukan. Makna kata “pemimpin” disini bisa berarti sebagai ‘pengendali’, ‘pengatur’, ‘yang berkuasa atas sesuatu atau seseorang.’ Nama itu secara tidak langsung berpengaruh pada sifat yang dimiliki. Amir sebagai pengendali atau berkuasa atas Hassan pada saat itu. Hassan telah menunjukkan kebaikannya dengan kesetiaan yang ditunjukkannya sama seperti pada penjelasan sebelumnya. Seperti pada kutipan:

Hassan menjilati jarinya dan mengangkat tangannya ke atas untuk memastikan arah angin, lalu berlari ke arah itu di beberapa kesempatan yang jarang terjadi, saat kami menerbangkan layang-layang pada musim panas, Hassan menendang pasir untuk mengetahui arah angin bertiup. Gulungan benang berputar di tanganku hingga Hassan berhenti, sekitar 15 meter dariku. Dia mengangkat layang-layang itu ke atas kepalanya, seperti atlet Olimpiade yang memamerkan medali emas. Aku menghentakkan benang dua kali, tanda yang biasa kami gunakan, dan Hassan pun melontarkan layang-layang itu. (Houssein, 2009: 126)

 

Kutipan di atas membuktikan kesinambungan antara Amir dan Hassan sebagai sebuah tim yang mempu berkerja sama dengan baik dalam melakukan suatu hal yang bersifat menyenangkan bagi mereka berdua. Namun tentu tetap ada pihak yang dirugikan. Amir tetap menganggap dirinya sebagai pengendali layang-layang yang tugasnya hanya memenangkan perlombaan tanpa mempunyai rasa antusiasisme yang tinggi pada timnya. Sedangkan Hassan tetap menganggap perlombaan ini merupakan ajang pertunjukan loyalitas dirinya terhadap Amir dengan mengejar dan berusaha menangkap layang-layang biru hasil kemenangan Amir, tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.

Kesetiaan yang diberikan Hassan sampai harus mendapatkan layang-layang biru ternyata membuktikan bahwa kebaikan dalam diri seseorang pasti akan muncul. Setelah merasa menjadi pengecut, Amir yakin bahwa ia dapat membalas kebaikan saudaranya dulu dengan berusaha kembali ke Afganistan dan menyelamatkan anak Hassan, yaitu Sohrab, itu pun berkat permintaan sahabat ayahnya, Rakhim Khan. Amir berusaha keras melewati rintangan apapun di kampung halamannya dulu demi anak itu. Setelah bertemu dengan Sohrab dan berusaha menyelamatkannya. Pada musim dingin seperti dulu, Amir dan Sohrab mengulur layang-layang kuning dan memutus layang-layang hijau. Dan Amir bahagia karena Sohrab bisa tersenyum walau sedikit. Dan dia berharap kebisuan dan kebekuan Sohrab karena trauma sedikit demi sedikit dapat mencair.

Dia juga mengendalikan layang-layang kuning dan memutus layang-layang hijau bersama Sohrab. Kuning memiliki arti perpindahan dari hal positif menuju ke negatif dan dapat juga berarti kehati-hatian, sedangkan hijau bermakna energi positif, harapan, dan jika di Islam merupakan simbol spiritual penting. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang manusia harus mengendalikan nafsunya dan membebaskan energi positif dari dirinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mempunyai kehendak berkuasa dari nafsu tetapi nafsu tersebut harus dikendalikan dengan membebaskan energi positif dari dirinya. Manusia akan dapat menemukan sedikit demi sedikit kebaikan kembali dari usahanya melawan nafsu buruknya. Seperti apa yang telah dilakukan Amir terhadap Sohrab, demi balas budinya terhadap Hassan. Amir berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukannya dahulu terhadap Hassan dengan jalan membahagiakan Sohrab. Itulah salah satu cara Amir untuk berdamai dengan dirinya.

Bila kedua arti nama Amir dan Sohrab disatukan, maka akan menjadi sesuatu hal yang sempurna dan menjadi sebuah karakter manusia (pemimpin) yang baik. Oleh karenanya, dibentuklah kedua karakter Amir dan Hassan yang saling melengkapi walaupun sempat terjadi pertentangan di antara keduanya. Karena manusia tidak akan luput dari kesalahan. Dibutuhkan sebuah pengorbanan dan perjuangan untuk mewujudkan ‘pemimpin yang baik’.

 

Penindasan Batin Tokoh

Berbicara tentang novel Timur Tengah, kita akan mengingat perang, penindasan, agama Islam, dan lain-lain. Dalam novel The Kite Runner, perang, penindasan, dan agama Islam memang sangat kental, dibicarakan berkali-kali dengan bahasa yang sederhana tetapi indah. Bukan hanya penindasan fisik, tetapi juga batin. Seorang anak laki-laki, seorang anak Afghan yang cerdas, yang lebih gemar menulis dari pada bermain sepak bola. Dia bernama Amir. Dia mengalami penindasan batin, karena dia tidak merasakan kasih sayang dari Babanya, karena Babanya lebih sayang terhadap anak pelayannya, yang bernama Hassan. Terbukti dalam dialog ini:

“Kau mau mengajak Hassan juga saat kita ke Jalalabad.

Mengapa baba harus memanjakannya seperti itu? “Dia mareez”, kataku. Tidak enak badan.

“Oh, ya?” baba berhenti menggoyang kursinya.
“kenapa dia?”

Aku mengangkat bahu dan menenggelamkan diri di sofa dekat perapian. “Mungkin dia masuk angin. Kata Ali, dia terus-terusan tidur.”

“Aku jarang melihat Hassan beberapa hari ini,” kata Baba. “Jadi, begitu ya, dia hanya masuk angin?” aku tidak bisa menahan rasa benci melihat cara Baba mengerutkan alis, menunjukkan kekhawatirannya.

“Cuma masuk angin. Jadi, kita akan pergi hari Jumat nanti, Baba?”

“Ya, ya,” kata Baba seraya mendorong kursinya menjauhi meja. “Sayang sekali Hassan sakit. Kupikir akan lebih menyenangkan buatmu kalau dia ikut.” (Hosseini, 2009:116)

 

Tingkah laku ayah Amirlah yang membuat Amir menjadi berkhianat kepada Hassan, untuk menarik rasa simpati ayahnya. Apapun akan dilakukan Amir, asalkan ayahnya merasa bangga kepada Amir, dan sayang kepada Amir bukan pada Hassan. Walaupun Hassan disodomi oleh Assef pun, Amir rela mengorbankan Hassan sebagai binatang qurban untuk mendapatkan kasih sayang Babanya. Dalam postkolonial terdapat istilah ambivalensi, yang artinya “kemenduaan”, yaitu tidak ingin dijajah tetapi menjajah orang lain. Seperti yang telah dilakukan oleh Amir, dia tertekan seperti banyak beban, hatinya merasa tertindas, hati dan pikirannya dijajah oleh Baba untuk menuruti segala keinginan Baba tentang anak laki-laki yang ideal. Amir tidak ingin dibenci ayahnya, tetapi dia membenci Hassan, berkhianat kepada Hassan.

Ada rahasia yang belum terbongkar ketika turnamen layang-layang. Hassan ingin mempersembahkan layang-layang yang berhasil dikalahkan oleh Amir dengan cara mematahkannya. “Untukmu keseribu kalinya”. Itulah kata-kata Hassan, si pengejar layang-layang kepada Amir sebelum dia berangkat mengejar layang-layang. Jika menerapkan teori Charles Sanders Pierce, “Untukmu keseribu kalinya” menempati posisi sebagai objek dalam teori semiotika Pierce. Penggalan kalimat tersebut menempati objek karena hadir di dalam teks cerita tersebut. Sedangkan posisi groundnya ditempati oleh kalimat tersebut lepas dari teks ceritanya, sehingga dapat dengan mudah diinterpretasikan dan hasilnya disebut interpretant. Selanjutnya bagian interpretantnya yaitu berupa kalimat yang berisikan ketulusan dan keloyalitasan seorang bawahannya kepada tuannya.

Dari sisi psikologi tokoh sendiri, tokoh Amir tentu mempunyai sisi psikologis yang agak berbeda dengan sisi psikologis para pemimpin yang otoriter ataupun merakyat. Amir kadang berlaku seperti pemimpin yang bersifat otoriter terhadap bawahannya. Dalam artian dirinya tidak akan memikirkan Hassan yang tengah dalam kesulitan atau tidak akan bebas dari pengabdiannya kepada Amir. Karena bagaimanapun manusia berhak akan kebebasan dirinya dari apapun termasuk bentuk pengabdian kepada pemegang hak yang menguasai salah satu bagian kehidupannya manusia tersebut. Seperti pada kasus ini Amir merupakan putra dari Baba yang merupakan seorang pengusaha yang mempunyai bawahan. Bawahan tersebut mempunyai putra bernama Hassan.

 

“Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga menganggunya? Hasan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya, Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka? Lalu dia bilang, ‘Dia jatuh.’ Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu.” (Housseini, 2009:51)

 

Kutipan di atas merupakan percakapan antara Baba dengan Rahim Khan tentang sisi penakutnya Amir. Amir dalam hal itu terlihat sifat penakutnya dan terlindungi oleh Hassan yang berdiri di depan Amir ketika banyak anak tetangga mengganggunya. Terlihat sekali Amir tidak melakukan hal apapun. Pada saat itu dia terlihat sebagai seorang pemimpin yang sangat otoriter dan membiarkan dirinya terlindungi oleh Hassan. Seharusnya tidak ada perbedaan di antara mereka pada usia yang masih kecil. Mereka berdua bersama dalam sebuah permainan di sekitar tempat tinggal mereka, termasuk jika menghadapi sebuah bahaya saat pulang ke rumah masing-masing. Karena meskipun Hassan anak dari seorang pesuruh Baba, dia tidak begitu saja dapat diperlakukan seperti ayahnya, kecuali ada perjanjian secara tertulis yang mengharuskan Hassan mengabdi kepada Amir. Dalam cerita tersebut jenjang pendidikan Hassan yang jauh di bawah Amir yang membuat Hassan berikap seperti ayahnya yang mengabdi kepada Baba. Selanjutnya Amir harus mampu menghormati Hassan sebagai teman bermainnya yang tidak patut untuk dijadikan pesuruhnya. Psikologis Amir belum jelas dan cenderung ingin enak sendiri entah terlindungi maupun dianggap sebagai raja besar.

 

Konflik Politik Afghanistan pada Novel

            Tak hanya menghibur, novel ini juga memberikan pengetahuan bagi pembacanya tentang konflik politik yang terjadi di Afghanistan, Novel The Kite Runner mewakili
deskripsi situasi Afghanistan pada tahun 1970-an - 2000-an. Novel ini juga merupakan
dampak dari konflik yang terjadi di Afghanistan selama Kudeta Khan Daoud,
Soviet Invasi, Perang Saudara Afghanistan sampai rezim Taliban terutama mengenai perbedaan kasta antara kaum Sunni dan Syi'ah.

            Kekejaman kaum Taliban diceritakan dengan brutal, sadis, bengis, dan keji. Betapa sengsaranya rakyat Afghan dan porak porandanya infrastruktur kota-kota di Kabul mengingatkan pada carut marutnya ibu pertiwi yang tak pernah benar-benar merdeka (hanya berganti penjajah dari bangsa asing ke bangsa sendiri). Satu hal yang benar-benar baru adalah potret kehidupan komunitas mayarakat Afghan-Amerika. Para imigran yang memiliki perkampungan tersendiri ini harus memulai hidupnya dari nol dan melupakan status dan kehidupan mewah mereka di negara asalnya agar bisa bertahan hidup

            Konflik yang terjadi sangat mengubah kehidupan orang-orang Afghanistan. Banyak sekali dampak dari konflik bagi orang-orang Afghanistan yang bisa diketahui dari novel ini,  diantaranya: Masyarakat Afghanistan kehilangan anggota keluarga mereka, baik karena terpisah maupun karena tewas dalam konflik. Mereka hidup dalam kemiskinan disebabkan harta dan rumah mereka telah hancur selama konflik berlangsung. Padahal sebelum konflik Afghanistan mereka hidup dalam situasi damai, tapi setelah konflik Afghanistan mereka harus menghadapi kondisi buruk, sulit dan kejam. Mereka harus mendapatkan kehidupan dalam situasi abnormal yang telah membuat banyak orang Afghanistan trauma. Konflik di Afghanistan mengubah atau membuat muncul budaya baru atau berbeda antara sebelum, selama dan setelah konflik terjadi. Perang tidak diragukan lagi membawa penyiksaan bagi orang-orang di negara terjajah. Dalam rangka untuk menghindari penderitaan yang disebabkan oleh perang, banyak orang Afghanistan kemudian mencoba untuk melarikan diri dari negara mereka. 

            Setelah menganalisa novel ini, penulis menyimpulkan bahwa kisah The Kite Runner
adalah fiksi, tetapi berakar pada peristiwa politik dan sejarah yang nyata mulai dari hari-hari terakhir monarki Afghanistan pada 1970-an ke pos-Taliban. Hal ini juga didasarkan pada kenangan Hosseini ketika hidup di Wazir Akbar Khan bagian Kabul dan beradaptasi dengan kehidupan di California.

            Secara struktural, The Kite Runner dapat dibagi menjadi tiga bagian: kenangan pra-konflik Afghanistan, menyesuaikan diri dengan kehidupan di Amerika, dan kembali ke dikuasai Taliban Afghanistan. Tematis, dapat dibagi menjadi dua: kehidupan sebelum perkosaan dan kehidupan setelah pemerkosaan. Dari sudut manapun, The Kite Runner adalah kisah cinta, pengkhianatan, dan penebusan dosa.

Layang-layang adalah pusat untuk keseluruhan cerita dari novel. Pada tingkat plot, turnamen layang-layang tahun 1975 merupakan titik pengkhianatan dan akhirnya penebusan menjadi gerak dan berputarnya cerita. Layang-layang memiliki beberapa lapisan simbolisme dalam cerita. Salah satu dari lapisan ini melibatkan perbedaan kelas antara Amir dan Hassan, yang sebagian besar menentukan dan membatasi hubungan mereka. Dalam pertandingan layang-layang, satu laki-laki mengendalikan layang-layang dan yang satu pembawa benang.

Dalam novel The Kite Runner, banyak makna-makna yang tersimpan disetiap kata-kata, peristiwa dalam cerita, nama-nama tokoh, bahkan judul. Penindasan, perang batin, penganiayaan, perang juga sangat kental menghiasi cerita dalam novel ini. Hosseini menyajikan dan menyampaikan pesan moral yang sangat baik terhadap pembaca.

Kekuatan novel ini terletak pada kemampuan Khaled Hosseini memberi nilai persahabatan bagi seorang Amir dan seorang Hassan. Karakter Amir dibangun dan bertumbuh atas balutan emosi – sisi-sisi gelap yang manusiawi ­– yang membuatnya sangat nyata bagi pembaca. Sentuhan Hosseini menyadarkan kita tentang pilihan yang dapat dibuat oleh seorang manusia, bahkan ketika masih kanak-kanak, yang pada akhirnya bermuara ke pencarian sejati tentang siapa kita sesungguhnya. Kejujuran atas kelemahan seorang Amirlah yang membuat pembaca melihat Amir apa adanya, tidak ada simpati yang berlebihan atau rasa benci yang berkepanjangan. Karakter Hassan, di lain sisi, dibangun dan dipelihara secara konsisten sebagai seseorang yang karena kemurniaan hatinya menciptakan ketidakamanan bagi seseorang yang ”senormal” Amir. Namun dengan cerdas, Hosseini tidak membawa karakter Hassan ke titik dimana kemurniaan jiwa menjadi naif. Hubungan Amir dengan Baba diwarnai dengan kekuatiran Baba sepanjang kisah akan ketidakmampuan Amir membela dirinya sendiri — naluri seorang ayah untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya dan hasrat seorang anak untuk menjadi kebanggaan ayahnya.

Setiap manusia membutuhkan proses dan usaha keras untuk menemukan kembali kebaikan yang sesungguhnya ada pada dirinya setelah sebuah kemauan berkuasa tanpa kendali menyebabkan kerugian.

 

 

Daftar Pustaka

 

Aminuddin. 1988. Semantik. Pengantar tentang Studi Makna. Bandung: Sinar Baru.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Madpress.

Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber artikel



http://ethiyallafifah-fib10.web.unair.ac.id/artikel_detail-83244-Sastra-Analisis%20Semiotik%20Pierce:%20Mengejar%20LayangLayang%20Penebus%20Dosa%20%E2%80%9CTHE%20KITE%20RUNNER%E2%80%9D%20Karya%20Khaled%20Hosseini.html

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Analisis Semiotik Pierce: Mengejar Layang-Layang Penebus Dosa “THE KITE RUNNER” Karya Khaled Hosseini"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top