Home
»
Unlabelled
»
PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN
PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN
Masyarakat memang patut bertanya, apa yang dapat dipelajari dari karya
sastra: puisi, cerpen, dan novel? Apa kaitan antara studi sastra dengan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia? Apa
kontribusi kajian sastra terhadap masalah genosida, kemiskinan,
kebodohan, ketidakadilan, korupsi, multikulturalisme? Jika tidak ada
kontribusi dan relevansi studi sastra dengan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia, lulusan sarjana sastra bisa
bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang
menguasai hermeneutika dan mempelajari puisi, cerpen, dan novel? (bdk.
Salam, 2008).
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari adanya tiga asumsi yang keliru
sebagai berikut. Pertama, belajar sastra adalah mempelajari keindahan
kata dan keindahan alam yang bertujuan untuk mendapatkan hiburan. Sastra
yang baik, dalam pengertian ini, tidak boleh berhubungan dengan atau
dinodai oleh aspek-aspek ‘luar’ seperti politik, ekonomi, sosial.
Kedua, sastra adalah karya fiksi, karya imaginatif, yang tidak memiliki
hubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Kalaupun hendak
dihubungkan dengan realitas kehidupan, diperlukan mediasi-mediasi
teoretis yang rumit, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ketiga,
ada keyakinan bahwa belajar sastra (cerpen/novel) hanyalah mempelajari
tema, penokohan, alur, sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa.
Keyakinan ini diperkuat dengan pengalaman pengajaran sastra di sekolah
(SLTP/SLTA) yang tidak pernah bergerak dari penapisan stuktural (Salam,
2008).
Pendekatan Objektif. Pendekatan objektif berusaha menjauhkan hal-hal
yang dianggap berbau subjektif (yang disebut sebagai hal-hal bersifat
eksternal) dan menekankan studi sastra pada teks sastra itu sendiri
(yang disebut sebagai aspek intrinsik). Pendekatan ini sangat
dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang menekankan objektivitas dan
netralitas keilmuan. Akibat pengaruh positivisme itu, pendekatan ini
dipandang memenuhi tuntutan dan persyaratan keilmuan (Taum, 1997: 31)
karena berhasil mengembangkan sistem dan metode keilmuan untuk memahami
objek kajiannya, yaitu teks sastra itu sendiri. Mengingat kajian sastra
hanya terfokus pada ‘dunia dalam kata’ yaitu struktur teks itu
sendiri, maka salah satu kelemahan pokok pendekatan ini adalah sifatnya
yang a-historis. Strukturalisme, sebuah aliran utama dalam pendekatan
ini, menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun struktur
universal yang menghapus pandangan individual. Sumber makna bukan pada
pengalaman manusia pengarang atau pembaca, melainkan pada sistem yang
menguasai individu. Dengan demikian, strukturalisme juga bersifat
antihumanis (Selden dalam Taum, 1997: 46). Pendekatan yang semacam ini
hampir tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan manusia dan
masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Implikasinya, karya
sastra dan kajiannya tidak memiliki relevansi dengan apalagi kontribusi
terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Sesungguhnya sejak berakhirnya perang dunia kedua (PD 2), sebenarnya
orientasi pertumbuhan ilmu-ilmu cenderung mengarah pada pendekatan
interdisipliner. Ciri lama perkembangan ilmu yang bercabang-cabang,
majemuk, kompleks, menggurita dan banyak spesialisasinya mulai
berkurang. Oleh karena ilmu menjadi tidak manageable lagi, orang mulai
memikirkan pendekatan dan penataan interdisipliner dan komunikasi antara
ilmu-ilmu. Orang menyadari bahwa ilmu bersifat evolutif atau
menyejarah. Karena itu manusia berusaha dapat memikirkan bahwa membuat
perencanaan (strategis) mengenai kemungkinan lebih lanjut dari evolusi
ilmu itu sendiri. Selain kecenderungan pertumbuhan ilmu yang
interdisipliner itu semakin kuat, ciri perkembangan keilmuan lain sejak
berakhirnya perang dunia kedua adalah ilmu menjadi lebih pragmatik,
dalam arti ilmu terkait dengan kepentingan politik, industri, dan
militer (Pranarka, 1987: 174).
Saat ini kita memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya menjadi
komoditas utamanya. Kini, dalam fase keempat ini, fenomena peradaban
umat manusia ditandai dengan apa yang disebut “ekonomi kreatif†.
Dalam upaya menanggapi arus deras gelombang ekonomi keernpat ini
Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia
(lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada
kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru
tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industri
kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan utama industri kreatif
adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga
mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya.
Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem triple helix, yakni
cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business), dan pemerintah
(government).
Dalam cetak biro Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan
bidang ekonomi kreatif yakni 1) jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni
rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) mode (fashion), 7) film, 8) musik, 9)
seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) riset dan pengembangan 12)
software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Mahasiswa sastra, yang dibekali dengan pengetahuan yang memadai
mengenai kekuatan alur, penokohan, latar, dan gaya bahasa dapat berperan
dalam pembuatan sinetron Indonesia yang lebih bermutu. Mereka dapat
dibekali dengan ilmu tentang kekuatan struktur cerita, pendalaman
psikologis, relevansi cerita dengan kondisi kehidupan masyarakat, dan
sebuah gambaran tentang masa depan kemanusiaan ‘orang Indonesia’
yang multikultural, terbuka, beradab, dan menghargai HAM.
Sumbangan terpenting dari Humanisme adalah asumsi dan sikapnya yang
tegas tentang adanya ‘nilai intrinsik’ kemanusiaan. Perlu
diperhatikan bahwa ‘nilai humaniora’ dalam bahasa Yunani disebut
‘axios’ (axia) yang memiliki makna ganda: nilai atau harga dan
martabat atau kehormatan. Dalam bahasa Latin disebut ‘dignitas’. Ada
dua pandangan yang berbeda tentang dignitas itu. Pandangan pertama
mengatakan bahwa dignitas adalah apa yang harus ditampilkan oleh
seseorang yang memiliki peran tertentu dan apa yang harus diberikan
orang lain karena perannya itu. Pandangan ini didukung oleh dunia Romawi
kuno dan filsuf politik Thomas Hobbes. Pandangan kedua menegaskan bahwa
dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama
hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pandangan ini didukung oleh Cicero,
Immanuel Kant (lihat Kleden, 2006). Aliran humanisme (Humaniora)
menganut pandangan yang kedua ini, yaitu bahwa nilai kemanusiaan tidak
ditentukan oleh ‘nilai ekstrinsik’ atau nilai-nilai ‘luar’ yang
ditempelkan pada manusia seperti memiliki bibit, bebet, dan bobot.
Cita-cita humanisme adalah penghargaan yang tinggi terhadap martabat
kemanusiaan itu sendiri, sementara bibit, bebet, dan bobot hanyalah
unsur-unsur yang sekunder. Martabat manusia tetap tinggi, sekalipun
bibit, bebet, dan bobotnya tidak mengesankan.
Dengan demikian, dalam cita-cita kemanusiaan humaniora, nilai
kemanusiaan Marsinah, Udin, Munir, manusia banci, waria, homoseks,
lesbian, pemulung, eks tapol/napol, anak-cucu pengikut PKI, dll sama
dengan nilai kemanusiaan seorang jenderal bintang empat, presiden,
menteri pekerjaan umum, konglomerat, ataupun orang-orang dengan
orientasi heteroseksual. Anak manusia tetap bernilai, apapun suku,
agama, ras, golongan, dan orientasi seksualnya. Nilai-nilai Humaniora
seperti ini masih relevan kita perjuangkan untuk masa depan kemanusiaan
di bumi Indonesia ini.
0 Komentar untuk "PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN "